
Surya Bagus Mahardika
Northeast Forestry University, Harbin, China
Indonesian Resources Development Institute (IRDI)
e-mail: suryabagusmahardika@nefu.edu.cn
Pendahuluan
Energi adalah masalah krusial bagi ekonomi di Indonesia. Konsep pembangunan yang keberlanjutan dan kesetaraan adalah kunci untuk pertumbuhan ekonomi bagi negara. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam, antara lain batu bara, gas alam, baja, dan berbagai hasil tambang serta hasil sektor kehutanan dan pertanian. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2019 Indonesia mampu memproduksi 616 juta ton batu bara, 2.8 juta kubik gas alam, dan 272 juta barrel minyak [2].
Kebijakan Ekonomi Nasional (KEN) 2014 menargetkan energi primer dapat dikombinasikan dengan komposisi 23% energi baru dan terbarukan, 22% gas, 55% batu bara, dan 0,4% minyak bumi pada tahun 2025. Sementara itu, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038 menargetkan dalam rencana jangka panjang yaitu 28% energi baru dan terbarukan, 25% gas, 47% batu bara, dan 0.1% minyak bumi untuk kebutuhan pembangkit listrik. Sebagai tambahan, efisiensi energi ditargetkan mampu adanya pengurangan konsumsi energi sebesar 1% per tahun. Target yang terbilang besar, namun juga perlu upaya besar untuk mewujudkannya.
Pandemi COVID-19 secara signifikan cukup mengguncang sektor energi nasional. PLN mencatat penurunan sebesar 15% dari pemintaan kebutuhan listrik pada tahun 2020, dimana penurunan nilai tukar rupiah juga meningkat yang mana sistem pengelolaan listrik di Indonesia masih sangat bergantung pada US Dollar, sehingga menjadikan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi lebih mahal. Meskipun kondisi Pandemi COVID-19 ini begitu menghantam bagi perekonomian Indonesia, namun masih ada secercah harapan bagi bangsa ini untuk bangkit kembali dan menjadikan momentum ini sebagai awal kemandirian bangsa. Salah satunya adalah bagaimana bangsa ini bisa mengelola kebutuhan eneginya dan tidak hanya terpenuhi namun juga dengan menggunakan energi bersih dimasa depan sehingga akan tercipta kehidupan generasi masa depan yang akan lebih baik dan lebih ramah terhadap lingkungan.
Berikut adalah pasokan energi primer di Indonesia pada tahun 2019 (Gambar 1) yang mana terdiri dari minyak bumi 35%, batu bara 37.3%, dan gas 18.5%, tenaga hidro 2.5%, panas bumi 1.7%, biofuel 3%, dan biogas, tenaga surya, tenaga angin, dan sumber terbarukan lainnya mendekati angka 2%. Sementara konsumsi energi terbagi dalam; transportasi 44%, industri 37%, rumah tangga 14%, komersial 4.5%, dan sisanya ke konsumsi pada sektor yang lain [2].

Gambar 1. Pasokan Energi Primer, 2019
(Sumber: Government of Indonesia, Ministry of Energy and Mineral Resources. 2020. Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2019. Jakarta.)
NRE = new and renewable energy (includes hydropower, geothermal, biofuel, biogas, solar, wind, and other renewables)
Sementara itu, dalam kaitannya dengan kemampuan produksi biomassa sebagai salah satu sumber energi maka erat kaitannya dengan potensi hutan di Indonesia. Hutan di Indonesia yang sudah dibagi dengan peruntukan lahan yang terdiri dari berbagai tipe hutan di Indonesia dinilai mampu memproduksi biofuel secara berkesinambungan. Potensi kesinambungan dari inventarisasi dan pemanfaatan hasil hutan untuk diolah menjadi methanol perlu didata secara menyeluruh dan dilakukan secara konsisten. Ketersediaan biomassa hutan di atas lahan (available aboveground forest biomass) Indonesia setiap tahun berkisar 40 hingga 168 miliar bio-methanol. Jumlah ini dapat diproduksi untuk digunakan sebagai bahan bakar transportasi dan/atau untuk memasok bahan bakar untuk menghasilkan listrik. Ketika diperkirakan ketersediaan biomassa hutan tahunan terendah digunakan untuk menentukan berapa banyak listrik (dengan bahan bakar metanol) dapat diproduksi di Indonesia, lebih dari 10 juta rumah tangga atau sekitar 12.000 desa (20% dari total desa pedesaan di Indonesia) akan dipasok tahunan dengan listrik.
Biomassa hutan yang kemudian diolah menjadi metanol mampu memasok bahan bakar yang dapat menyediakan listrik untuk lebih dari 42 juta rumah tangga setiap tahunnya. Ini akan memenuhi kebutuhan listrik bagi 52.000 desa, atau 86% dari total desa pedesaan di Indonesia. Ketika listrik diproduksi dengan bio-methanol/fuel cell, kondisi ini dapat berpotensi memasok setengah dari seluruh listrik yang saat ini dikonsumsi di Indonesia. Dengan menghasilkan listrik menggunakan bio-methanol/fuel cell dan bukan dari bahan bakar fosil, dari 9 hingga 38% dari total emisi karbon yang saat ini dihasilkan setiap tahun di Indonesia dapat direduksi. Sebaliknya, mengganti bio-methanol dalam jumlah yang sama untuk bensin dapat memenuhi semua kebutuhan bensin tahunan Indonesia dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon sekitar 8–35% [1]

Tabel 1. Potensi Energi Terbarukan di Indonesia
(Sumber: Ditjen EBTKE, 2018)

Gambar 2. Ilustrasi dari berbagai potensi biomassa
(Sumber: Biomass Energy Europe. 2010. Harmonization of biomass resource assessments, Volume I: Best Practices and Methods Handbook. BEE: Freiburg-Germany)
Meskipun saat ini sektor kehutanan bukan menjadi primadona pekerjaan bagi sejumlah kaum muda, namun nyatanya sektor ini tentu saja kedepan akan menempati posisi yang penting bagi sebuah negara. Seperti yang tergambar dalam Gambar 2 diatas, bahwa potensi biomassa dapat dibedakan menjadi empat potensi biomassa utama; potensi teoritis, potensi teknis, potensi ekonomi dan juga potensi implementasi. Rangkaian potensi utama tersebut terhubung satu dengan lainnya sehingga harus menjadi bahasan utama jika Indonesia ingin mampu mengelola potensi biomassa hutan secara optimal.
Dalam kaitannya dengan potensi teoritis maka perlu dipahami betul bagaimana ilmu-ilmu dasar seperti air, iklim, jenis tanah, manajemen, dan sebagainya. Potensi implementasi maka perlu dikaji dan diteliti secara mendalam bagaimana kebijakan terkait dengan biodiversitas. Selanjutnya dalam tataran potensi teknis, bagaimana potensi produksi biomassa oleh lahan dan juga tegakan, proses konversi energi, dan juga kaitannya dengan pengurangan emisi gas kaca serta perubahan iklim. Kemudian pada potensi ekonomi perlu kolaborasi lintas sektor dengan kebijakan pertanian, kebijakan kehutanan, karena dalam tataran ini sangat erat dengan potensi ekonomi yang didalamnya ada potensi ketersediaan bahan pangan, energi dan juga material (khususunya potensi hasil hutan kayu) [2].
Analisis Permasalahan Utama
Perkembangan kebutuhan energi ini sejalan dengan perkembangan dalam sektor kehutanan. Berbagai negara di dunia telah dan terus mengambangkan pengelolaan hasil hutan salah satunya adalah biomasa hutan. Sebagai contoh China, Amerika, negara-negara Uni Eropa juga terus menggali potensi hutan mereka. Hal yang cukup penting menjadi catatan bagi Indonesia adalah bagaimana belajar efisien dalam birokrasi namun tetap tegak dalam memperjuangkan kelestarian alam dan juga kesejahteraan rakyat.
Banyak sumber telah menyampaikan bahwa percaturan politik antar bangsa dimasa yang akan datang yaitu tentang sumberdaya, seperti halnya saat ini semua negara tengah berlomba-lomba mencari dan meneliti energi masa depan bagi negara mereka masing-masing. Indonesia dengan segala kekayaan sumberdaya hutannya harus digunakan dan dikelola dengan sebaik mungkin.

Gambar 3. Sumber Energi Primer dan Sekunder
(Sumber: K. Alper, K. Tekin, S. Karagöz, and A. J. Ragauskas, “Sustainable energy and fuels from biomass: A review focusing on hydrothermal biomass processing,” Sustain. Energy Fuels, vol. 4, no. 9)
Seperti yang terlihat pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa komponen sumber energi primer dapat dikonversi menjadi sumber energi sekunder dan pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manusia. Indonesia dengan beragam sumberdaya yang dimiliki, khususnya potensi biomassa harus mampu dikonversi menjadi sumber energi sekunder yang beraneka ragam, dengan tujuan agar tercapainya diversifikasi energi. Untuk mencapai ini tentu saja perlu adanya sentuhan teknologi yang tepat dan diaplikasikan secara menyeluruh pada berbagai industri terkait. Hal ini perlu dorongan, dukungan dan jaminan dari kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah.
Indonesia memiliki sumber biomassa yang melimpah untuk bioenergi dan bahan bakar nabati, dengan kemampuan produksi sekitar 146,7 juta ton per tahun. Wilayah dengan potensi sumber biomassa tertinggi antara lain Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, namun potensinya tersebar di seluruh tanah air. Pemerintah telah mengindikasikan bahwa budidaya dalam negeri dan penggunaan biomassa akan menjadi komponen penting dari tujuan negara untuk mencapai 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Potensi biofuel Indonesia adalah sekitar 200.000 barel per hari. Perkiraan listrik yang dihasilkan biomassa adalah sekitar 33 GW, sedangkan kapasitas terpasang sekitar 1,7 GW. Pada tahun 2019, sebanyak 12,7 juta rumah tangga mengandalkan bahan bakar biomassa tradisional untuk memasak. Pilihan untuk biomassa, yang berasal dari industri pertanian dan kehutanan dalam negeri yang luas, termasuk produk dari limbah, minyak sawit, bambu, karet, pelet kayu, residu pabrik gula, cangkang minyak, sekam padi, singkong, dan sebagainya. Semua sumber bioenergi perlu mempertimbangkan keseimbangan sosial ekonomi lintas sektor, berkelanjutan dan berkeadilan [3].
Semua target dan cita-cita mulia capaian yang ditargetkan oleh pemerintah cukuplah luar biasa, namun pada kondisi lapangan masih banyak hal yang harus diselesaikan. Untuk bisa memasok kebutuhan biomassa yang berkelanjutan maka diperlukan pengelolaan lahan yang baik dan kondusif. Sementara di Indonesia saat ini masih banyak permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan lahan. Pendekatan pengelolaan lahan di Indonesia sangat dekat dengan prisip atau panduan yang diberikan untuk masyarakat. Pelajaran yang bisa diambil dari berbagai kasus yang terjadi saat ini yaitu dengan strategi adaptasi untuk prioritas lokal agar terwujudnya inklusivitas bisa dicapai. Menyelaraskan tindakan lanskap dengan kebijakan untuk tata kelola yang koheren di seluruh lapisan tetap menjadi tantangan utama [4].
Rekomendasi Solusi
Untuk mencapai pengelolaan biomassa sebagai bahan baku energi masa depan Indonesia hal utama yang penting dimulai yaitu pemerintah melalui lembaga-lembaga riset perlu untuk melakukan pemodelan potensi biomassa hutan secara menyeluruh dan menyongsong masa depan pengelolaan kehutanan Indonesia. Dalam hal ini monitoring dan juga early-warning system yang terintegrasi dengan baik harus dilakukan Sektor kehutanan merupakan bagian dari sektor pertanian dalam arti luas. Seperti yang sudah diterapkan oleh negara tetangga kita di Asia yaitu Tiongkok, pada bulan Juni 2013 di Beijing telah dilaksanakan pertemuan antara para ilmuwan untuk membahas progres dari konstruksi early-warning system pada bidang pertanian dalam arti luas di Tiongkok guna menghadapi era baru dan tantangan pasar kedepan, cakupan perubahan pasar, dan melihat perubahan pola perdagangan hasil pertanian skala internasional. Sistem tersebut termasuk 11 kategori dari 953 produk pertanian dalam arti luas, supply and demand, akses ketahanan pangan, skenario untuk spasial dalam level yang berbeda, level waktu yang berbeda, dan level makro-mikro. Berdasarkan dengan sistem tersebut, produksi, konsumsi, dan pasar dari produk utama pertanian di Tiongkok selama satu dekade dapat diproyeksikan. Hal ini adalah permasalahan yang sangat mendasar untuk memastikan ketahanan pangan sebuah negara [5].

Gambar 4. Siklus CO2 dari bahan bakar berbasis fosil dan biomassa
(Sumber: K. Alper, K. Tekin, S. Karagöz, and A. J. Ragauskas, “Sustainable energy and fuels from biomass: A review focusing on hydrothermal biomass processing,” Sustain. Energy Fuels, vol. 4, no. 9)
Keunggulan energi yang dapat diperbaharui seperti halnya biomassa yaitu mampu menyerap kembali CO2 sebagai siklus didalamnya, sehingga hal ini mampu mengurangi dampak buruk dari perubahan iklim dan gas rumah kaca. Seperti yang terlihat dalam Gambar 4 bahwa bahan bakar dari minyak bumi dan batu bara cukup berbeda jauh dengan bioenergi seperti ethanol, biodiesel dan bioenergi lainnnya [6].
Kelemahan Indonesia dalam pengembangan riset di bidang kehutanan kedepan harus segera dijadikan bahan evaluasi dan agenda utama oleh pemerintah. Mengingat banyak faktor yang dapat menghambat kinerja kehutanan dimana negara Indonesia terletak pada daerah yang beriklim tropis, yang dalam hal ini musim sangat mudah berpengaruh terhadap pertumbuhan berbagai komoditi dan spesies yang dikembangkan, selain itu karena letak bangsa kita masuk dalam gugusan Cincin Api Pasifik (ring of fire), sehingga, tidak jarang sering terjadi bencana alam yang pada akhirnya sangat berdampak terhadap aktivitas industri energi. Semua resiko tersebut perlu dipetakan dan menjadi bahan penghitungan yang detail dalam riset-riset kehutanan dan energi kedepan.
Referensi
[1] A. S. Suntana, K. A. Vogt, E. C. Turnblom, and R. Upadhye, “Bio-methanol potential in Indonesia: Forest biomass as a source of bio-energy that reduces carbon emissions,” Appl. Energy, vol. 86, no. SUPPL. 1, pp. S215–S221, 2009, doi: 10.1016/j.apenergy.2009.05.028.
[2] M. Vis and D. van den Berg, “Harmonization of biomass resource assessments: Best Practices and Methods Handbook,” vol. 1, no. November, pp. 1–220, 2010, doi: 10.13140/2.1.4643.8084.
[3] ADB, Energy Sector Assessment, Strategy, and Road Map: Indonesia, no. December. 2020.
[4] R. A. Riggs et al., “Governing the landscape: potential and challenges of integrated approaches to landscape sustainability in Indonesia,” Landsc. Ecol., vol. 1, 2021, doi: 10.1007/s10980-021-01255-1.
[5] S. W. Xu, G. Q. Li, and Z. M. Li, “China agricultural outlook for 2015-2024 based on China Agricultural Monitoring and Early-warning System (CAMES),” J. Integr. Agric., vol. 14, no. 9, pp. 1889–1902, 2015, doi: 10.1016/S2095-3119(15)61149-2.
[6] K. Alper, K. Tekin, S. Karagöz, and A. J. Ragauskas, “Sustainable energy and fuels from biomass: A review focusing on hydrothermal biomass processing,” Sustain. Energy Fuels, vol. 4, no. 9, pp. 4390–4414, 2020, doi: 10.1039/d0se00784f.
コメント